Rabu, 22 Agustus 2012

Tentang Qadha, Fidyah dan Kafarat Dalam Puasa









Oleh Abdullah Haidir, Lc

  • Bagi orang yang uzur tidak berpuasa di bulan Ramadan, diwajibkan baginya mengqadha puasanya di hari-hari lain sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah: 185.
  • Waktu qadha puasa terbuka hingga menjelang Ramadan berikutnya. Berdasarkan ucapan Aisyah yang baru sempat mengqadha puasanya di bulan Sya’ban karena sibuk mengurusi Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Namun jika dilakukan lebih cepat, akan lebih baik.
  • Qadha puasa dapat dilakuakn sekaligus terus menerus sesuai jumlah puasa yang ditinggalkan atau berangsur-angsur.
  • Orang yang sudah mulai berpuasa qadha Ramadan, maka dia tidak boleh mebatalkannya di tengah hari kecuali uzur syar’i. Puasa qadha adalah puasa wajib dan bukan puasa sunah yang dapat dibatalkan begitu saja di pertengahannya. Orang yang sudah mulai melakukan ibadah yang wajib, harus dituntaskan, tidak boleh dihentikan di pertengahan kecuali ada uzur syar’i.
  • Qadha hendaknya didahulukan dari puasa sunah Syawal. Akan tetapi, jika puasa Syawal dahulu sebelum menunaikan qadha, apakah pahala puasanya didapatkan? Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Sebagian berpendapat bahwa puasa Syawal tidak berguna sebelum seseorang mengqadha puasa Ramadan yang tertinggal, karena puasa Syawal terkait dengan puasa Ramadan. Sebagian lainnya berpendapat bahwa puasa Syawal tetap didapatkan keutamaannya, walaupun seseorang belum puasa qadha, karena pada hakekatnya puasa qadha diberi keluangan waktu menunaikannya hingga Ramadan berikutnya, sedangkan puasa Syawal terbatas pada bulan Syawal.
  • Jika hingga Ramadan berikutnya seseorang tidak juga membayar qadha puasa Ramadan sebelumnya, jika hal itu terjadi karena sebab yang membuatnya tidak dapat melakukan qadha sebelum bertemu Ramadan berikutnya, maka dia tidak berdosa, cukup baginya mengqadha puasanya. Namun jika hal itu terjadi karena kelalaiannya, artinya sebenarnya dia mampu mengqadha sebelum datang Ramadan berikutnya, maka dia berdosa dan mohon ampun karenanya. Kemudian dia wajib mengqadhanya. Jumhur ulama berpendapat bahwa selain mengqadha diapun harus mengeluarkan fidya berupa memberi seorang miskin untuk setiap hari puasa yang belum dia qadha. Hal ini didasari pada riwayat Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Abu Hurairah dalam masalah ini. Adapula ulama yang berpendapat tidak diwajibkan membayar fidyah berdasarkan zahir ayat yang hanya mewajibkan qadha bagi orang yang uzur berpuasa Ramadan. Setidaknya jika fidyah dilakukan bersama qadha, akan lebih hati-hati. Wallahua’lam.
  • Jika seseorang meninggal dunia, dalam keadaan dia memiliki qadha puasa yang belum ditunaikan, maka dilihat, jika sebelum meninggal dia terus memiliki uzur untuk mengqadha puasanya, seperti sakit terus misalnya, maka dia tidak memiliki kewajiban apa-apa, tidak wajib dipuasakan dan tidak wajib difidyahkan, karena pada hakekatnya dia tidak punya kewajiban puasa. Tapi jika sebelum meninggal dia sebenarnya mampu mengqadha, namun dia tunda-tunda, maka dalam hal ini sebaiknya ahli warisnya atau kerabatnya berpuasa untuknya. Berdasarkan hadits muttafaq alaih, “Siapa meninggal dalam keadaan memiliki kewajiban puasa, maka walinya (kerabatnya) hendaknya berpuasa untuknya.” (Muttafaq alaih)
  • Jika seseorang ragu jumlah hari yang dia tidak berpuasa, 6 atau 7 hari misalnya. Maka diambil yang lebih sedikit, karena sedikit itu yang yakin, dan hukum asalnya bahwa seseorang tidak terkena kewajiban. Akan tetapi jika dia mengambil yang terbanyak untuk kehati-hatian, itu juga baik. Jika dia tidak ingat sama sekali jumlah harinya, maka dikira-kira berdasarkan dugaan terkuat.
  • Membayar kafarat dalam bab puasa, berdasarkan zahir dalil yang ada, hanya berlaku bagi mereka yang melakukan jimak di siang hari Ramadan dengan sadar. Yaitu kafarat mughalazah (berat); Memerdekakan budak, jika tidak mampu, puasa dua bulan berturut-turut, jika tidak mampu memberi makan 60 orang miskin. Sebagian ulama berpendapat bahwa mereka yang makan dan minum dengan sengaja juga harus dikenakan kafarat, karena pada hakekatnya sama, yaitu merusak kesucian bulan Ramadan. Akan tetapi, pendapat kedua ini tidak dilandasi dalil yang kuat selain argumen tersebut.
  • Wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa Ramadan, apakah wajib qadha? Terdapat perbedaan pendapat para ulama dlam masalah ini. Sebagian mengatakan wajib qadha saja, sebagian mengatakan wajib qadha dan fidyah jika dia khawatir terhadap anaknya saja, dan sebagian berpendapat bahwa dia wajib fidyah saja. Permasalahannya adalah apakah wanita hamil disamakan dengan orang sakit yang ada harapan sembuh ataukah dengan orang tua renta atau orang sakit yang tidak ada harapan sembuh? Yang lebih dekat adalah bahwa dia disamakan dengan orang sakit yang ada harapan sembuh, maka dia diwajibkan untuk mengqadhanya. Disamping ada dalil lain dalam masalah ini. Wallahua’lam.
  • Adapun fidyah, berlaku bagi orang yang tak mampu puasa karena tua renta atau sakit yang tidak ada harapan sembuh, berdasarkan penafsiran mu’tabar terhadap surat Al-Baqarah: 184. Maka untuk setiap hari yang dia tidak berpuasa, dia memberi maka satu orang miskin. Bisa dalam bentuk mentah dengan mengeluarkan setengah sha (sekitar 1,5 kg makanan pokok) atau dengan memasaknya hingga siap dimakan lalu diberikan kepada orang miskin.
  • Fidyah juga, sebagaimana telah disebutkan, berlaku bagi orang yang terlambat membayar qadha hingga Ramadan berikutnya dan wanita hamil serta menyusui, sesuai perbedaan pendapat ulama yang ada dalam masalah tersebut.
Wallahu a'lam.   


Riyadh, 1433  




 ___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar