Bicara di antara rekan dan rekanita Kiri membuat saya deg-degan. Kurang lebih selama enam puluh purnama saya tinggal di lereng gunung, yang jangankan sosialisme, kata kiri saja tak pernah terdengar. Kalaupun kata kiri disebut paling-paling nasihat ibu kepada anaknya: kalau makan jangan pakai tangan kiri, kalau dikasih sesuatu jangan diterima dengan tangan kiri, kalau memberi jangan pakai tangan kiri, kalau angkat tangan di sekolah jangan pakai tangan kiri. Itulah, kata kiri selalu didahului kata jangan.
Di tempat saya tinggal yang tak begitu ramai itu, walaupun muda-mudinya ke mana-mana bawa telepon seluler—tentunya gaul dengan facebook dan twitter—tak pernah saya temukan bacaan Kiri. Sehingga ketika diminta ngomong hubungan bacaan progresif dengan pengorganisasian gerakan revolusioner, saya seperti kera yang tingak tinguk: kebingungan. Daripada nggak ngomong, saya bicara tentang meluasnya bacaan Islam hubungannya dengan meningkatnya suara PKS.
Majalah Hidayah merupakan bacaan yang sering saya temukan di rumah tetangga saya yang rata-rata menengah kebawah. Sesuai dengan namannya, majalah ini diterbitkan oleh komunitas Islam. Isinya membimbing umat Islam untuk mendapatkan hidayah—petunjuk di jalan Tuhan. Kalau saya tanyakan bagian apa yang disukai, dijawab rubrik kisah nyata. Yaitu, tentang seseorang yang mendapatkan laknat dari Tuhan karena perbuatan jahatnya. Bisa bermacam-macam bentuk laknat itu. Kisahnya konon nyata, diungkapkan dengan bahasa populer digabung gaya sastra. Agar lebih mantap, seringkali dilengkapi dengan pengambaran yang menyeramkan tentang berbagai akibat yang diterima para pendosa. Pembaca pun semakin bisa meresapi. Kisah-kisah yang konon nyata tersebut pernah juga diangkat menjadi sinetron televisi. Hasilnya sama: banyak disukai.
Simak penggalan kisah Sebelas Penjudi Tersambar Petir dalam Majalah Hidayah:
“Namun, baru saja sepeda motor itu bergerak beberapa meter meninggalkan arena judi, suara ledakan berbunyi amat keras. Tar, tar, tar. Erik pun tersambar dan seketika itu pula terpental dari boncengan tukang ojek.”
Itu kisah Erik yang dilaknat Tuhan karena bermain judi. Ia tersambar petir dan tewas. Sehari sebelumnya istrinya melihat Erik di warung komplek pelacuran. Saat ditanya okeh istrinya apakah di warung itu, Erik menjawab tegas: biar disambar petir kalau aku berada di lokasi itu. Teman-teman judi Erik yang lain juga mendapat laknat: telingga terasa sakit sampai tuli. Kisah berakhir dengan pertobatan para penjudi itu. Mereka kapok berjudi.
Dari segi isi, Majalah Hidayah tergolong lengkap. Mulai dari tema Alam Gaib, Setetes Hidayah (pengalaman penganut agama lain yang masuk Islam), Nisa (rubrik perempuan), Ponpes (kisah-kisah seputar pesantren), Aktual, Tafsir (penjelasan secara populer ayat-ayat dalam al Qur’an), Keluarga Sakinah, Budaya Islam, Potret (profil para pendakwah), Fiqih, Ensiklopedia, Tips Kesehatan, Kajian Pustaka, Kosultasi Zikir, Kosultasi Keluarga Sakinah sampai Konsultasi Fiqih.
Di antara majalah-majalah Islami lainnya, Majalah Hidayah yang paling laku di pasaran. Setiap edisinya—terbit sebulan sekali—memiliki 2, 1 juta pembaca. Sekali lagi: dua koma satu juta. Saya tak tahu pasti, apakah majalah kelas menengah perkotaan seperti Tempo memunyai pembaca sebanyak itu.
Biasanya, setelah terbit yang berlangganan membaca terlebih dahulu. Setelah itu, beberapa hari kemudian tema utama diceritakan bak seorang propagandis profesional. Tepat ngrumpinya bukan tempat yang formal, tapi tempat yang santai seperti ketika berbelanja sayur atau ketika memberi makan anak kala sore hari. Karena diceritakan dengan berbagai ekspresi dan bahasa yang memikat a la orang-orang kampung, akhirnya si pedengar tertarik, dan meminjam. Begitulah majalah Hidayah menyebar hingga dibaca oleh dua koma satu juta orang.
Bagi keluarga Islam yang terdidik dan lebih ideologis,
Majalah Sabili bacaannya. Majalah ini politis. Tema-tema politiknya lebih banyak serangan terhadap imperialisme Amerika Serikat maupun Yahudi di Israel. Tema-tema seperti ini terus menerus diangkat setiap edisinya dengan sudut pandang yang berdeda-beda. Hubungan politik juga ditunjukkan dengan memberikan dukungan secara terbuka kepada partai idola saya: PKS. Majalah ini memang tidak bisa dilepaskan dari jaringan Tarbiyah—organisasi yang menjadi janin PKS.
Susunan pengelola Majalah Sabili edisi awal (1980-an): (alm) K.H Rahmat Abdulah (kemudian menjadi Ketua Majelis Syuro PK dan PKS yang pertama), Muhammad Zainal Muttaqin (nama samaranya Muhammad Ishaq atau Abu Rodli) dan Ade Erlangga Masdiana sebagai dewan redaksi, Arifinto (Arifin Toat) sebagai penanggung jawab distributor, serta Ahmad Fery Firman (Atwal Arifin) yang mengerjakan proses setting.
Sikap idiologis dan politis Majalah Sabili sudah dirancang sejak awal. Majalah ini terbit dengan dua tujuan. Pertama, sebagai sarana nasyrul fikroh al-Islamiyah (penyebaran pemikiran-pemikiran Islam). Disiapkan sebagai juru bicara pemikiran-pemikiran Islam untuk membentengi umat Islam dari gagasan-gagasan Barat yang negatif. Kedua, majalah ini ingin menampilkan diri sebagai media Islam yang cerdas, bermutu dan profesional. Ide-ide yang ditampilkan tidak melepaskan diri wawasan ilmiah dengan isi yang sesuai dengan dinamika umat Islam.
Sabili awalnya majalah ilegal. Terbit pertamakali tahun 1980-an. Bergerak di bawah tanah membuat kelompok Tarbiyah memerlukan sarana berbicara kepada para kader dan umat Islam secara luas. Sabili sarana itu. Lewat Sabili ini lingkaran-lingkaran Tarbiyah dididik (tasqib) tentang idiologi dan politik Islam. Pembelajaran yang dilakukan tidak hanya mendengarkan materi dari murobbi (guru), tapi masing-masing kader juga didorong memperoleh pengetahuan sendiri. Di sini Majalah Sabili berperan sebagai referensi atawa bahan bacaan untuk menambah pengetahuan baru. Saya tidak mau mengatakan bahwa gagasan menerbitkan majalah ini mengikuti anjuran Lenin dalam risalah Dari Mana Kita Mulai?. Nanti dikira bid’ah oleh para Leninis sekolahan.
Selain tema yang ideologis dan politis, dalam perkembangannya Majalah Sabili memperluas pokok pembahasan. Misalnya sekarang ada rubrik wirausaha. Biasanya rubrik ini memberikan motivasi agar pembaca menjadi mandiri secara ekonomi. Orang-orang yang awalnya miskin kemudian sukses secara ekonomi, akan dijadikan contoh. Tentu saja ekonominya yang Islami—tidak hanya mengejar keuntungan tapi juga kewajiban bersedekah setiap kali mendapatkan rezeki. Majalah ini juga melek budaya. Ada rubrik cerita pendek yang berisi tema-tema yang berhubungan dengan keislaman.
Oplah Majalah Sabili berkembang sebagai berikut: Tahun 1988 oplahnya 2.000 eksemplar kemudian meningkat menjadi 2.500 eksempkar tahun berikutnya, 3. 000 eksemplar, 8. 000 eksemplar (di tahun 1990), 1.1000 eksemplar, sampai mencapai angka 17.000 eksemplar di tahun 1991. Setelah tahun 1991 beroplah 25.000 eksemplar, terus menanjak pada tahun-tahun selanjutnya menjadi 30.000 eksemplar, 35.000 eksemplar, lalu 45.000 eksemplar, dan pada bulan Januari 1993, oplahnya mencapai 60.00 ekseplar. Masa puncaknya terjadi tahun 2002-2003 dengan oplah 140.000 eksemplar setiap edisi. Tiras tersebut setara dengan satu juta pembaca. Setelah mencapai masa puncak oplahnya menurun pada kisaran 40.000 eksemplar dengan pembaca sekitar 324.000 orang.
Para rekan dan rekanita kiri,
Saya lanjutkan. Ketika suatu waktu berkunjung ke tetangga yang paling kaya, saya menemukan
Majalah Paras dan NooR. Ini memang diperuntukkan bagi kaum Muslimah yang berduit. Tampilannya eksklusif. Mengilap. Oplahnya antara 20.000 sampai 30.00 eksemplar.
Majalah ini biasanya berisi halaman-halaman mode, desain rumah, tips memasak, dan artikel-artikel singkat bertema Islami, misal: Apakah boleh menurut syariah, untuk menghilangkan kerut-kerut dengan Botax? Apakah produk-produk transgenik yang mengandung bahan genetik buatan dari spesies lain aman untuk digunakan?
Tema tulisan di halaman depan Majalah Paras:
Fikih Wanita:
Cumbu Rayu
Suami Istri
Kala Haid
Menyiasati Anggaran
Bulan Madu
Kiat-kiat Memilih
Katering, Gedung, Fotografer, Tatarias, Dekorasi dan Busana Pengantin
Busana:
Modern&Traditional
Weding Gown
Aneka Tudung Pengantin
Kecantikan:
Perawatan Pranikah
Tekno-Herbal
Figur:
Ir. Hj. Hayatun Fardah
Sosok Kreatif di Balik Pemberdayaan Perempuan Kalsel
Bisa disimak info kesehatan di Majalah NooR:
Menyamarkan Kerutan dengan Botax Halalkah?
Di era moderisasi ini makin banyak pilihan bagi perempuan untuk mempercantik diri secara instan. Ingin Tampil langsing, pilih sedot lemak. Ingin tampil cantik tanpa kacamata, pilih laser. Ingin tampil selalu muda sepanjang usia, pilih botox. Yang terakhir yang paling fenomenal dan mengundang tanya seputar kehalalalannya.
Info mode di majalah Noor:
[di bawah gambar perempuan muda berpose Islami dengan latar kota di luar negeri] tertulis:
Menggabungkan gaya dan konsep kantor memerlukan trik tersendiri. Jangan pernah melupakan unsur dasi, scarft atau elemen lain yang memberikan sentuhan chic.
rekan dan rekanah kiri sekalian,
Apa yang saya sampaikan tadi merupakan majalah-majalah yang dibaca oleh para tetangga saya. Tapi jangan salah, mereka tidak hanya membaca majalah. Buku juga dibaca. Mungkin para rekan dan rekanah kiri pernah mendengar ESQ (Emotional Spiritual Quantient). Ya, tepat. Buku tersebut ditulis oleh Ari Ginanjar. Isinya tentang teori-teori pengembangan diri model Barat yang digabungkan dengan kemampuan emosional, spriritual dan kusuksesan. Beberapa tetangga saya membaca buku ini. Kalau sudah masuk ke tempat terpencil seperti tempat tinggal saya, tak mengherankan kalau buku ESQ telah dicetak 400.000 eksemplar.
Tentu yang paling menghebohkan buku La Tazan: Jangan Bersedih. Buku ini merupakan buku motivasi ala Islam. Muncul sebelum era Mario Teguh. Karena larisnya, banyak bajakannya di Taman Pintar Yogyakarta. Penggalan dari La Tazan yang menjadi favorit tetangga-tetangga saya, sebagai berikut: “Setiap manusia melihat dunia sesuai dengan perbuatannya, pikirannya dan motivasinya. Apabila perbuatannya baik, pikirannya suci dan motivasinya tulus, dia akan melihat dunia ini bersih dan indah sebagaimana dunia itu diciptakan. Jika yang terjadi sebaliknya, dunia akan terlihat gelap gulita dan dia melihat segala sesuatu terasa hitam pekat.”
Saya agak heran ketika berkunjung ke rumah tetangga saya yang paling ujung. Dia rupanya juga penggemar sastra. Tapi nanti dulu. Bukan sastra Kiri yang dibaca, tapi Ayat-ayat Cinta. Okelah para rekanah Kiri menganggap karya ini patriarki dan mengkampayekan poligami, tapi tetangga saya tak peduli. Istrinya malah menangis tersedu-sedu ketika membacanya. Ketika saya tanya, sudah membaca berapa kali: 10 kali. Novel ini memang laris manis. Oplahnya sudah mencapai 300.000 eksemplar. Filmnya juga diserbu penonton dan masuk dalam jajaran film terlaris.
Begitulah bacaan-bacaan tetangga saya. Memang tidak saya temukan bacaan Kiri. Mungkin disembunyikan dan dibaca secara diam-diam di kamar. Sehingga saya tak bisa menguraikan apakah ada hubungan antara bacaan progresif dan gerakan Kiri. Yang pasti, saat ini Kiri di Indonesia tak pernah terdengar sampai ke Lereng Merapi. Mungkin mereka punya basis merah di tempat lain.
Akhirnya, saya sedikit ragu-ragu: Apakah meluasnya berbagai jenis bacaan Islam tersebut ada hubungannya dengan meningkatnya perluasan struktur PKS atu tidak? Hanya Tuhan yang tahu. Yang pasti, pada tahun 2004 PKS sudah mempunyai cabang 100% di tingkat kabupaten dan 65% di level kecamatan, dan menargetkan 75% dari keseluruhan desa/kelurahan di Indonesia. Pantas kalau PKS bisa menduduki posisi empat besar dalam Pemilu 2009, dan suara mereka dari pemilih desa—tempat pembaca Hidayah berada—mengalami peningkatan.