Arya Sandhiyudha AS
@AryaSandhiyudha
Ketua DPC PKS Menteng | Mhs Ph.D di Fatih Univ. Turki
- Alhamdulillah giat seharian usai. Dari pagi silaturahim ke para ustadz, pendeta, tukang ojek, dll. Salam Ahad bersahaja.
- Tadi pendeta yang saya temui bilang, di gereja-gereja juga para pendeta bilang "pilih yang seiman dan anak Tuhan".
- Pendeta ini bilang "karena etnik Tionghoa sekarang banyak yang kristen ada pengaruh ke Pilkada". Menurut saya wajar2 saja.
- Tambah dia lagi "Gerindra kan juga melakukan mobilisasi via KIRA Kristen Indonesia Raya Gerindra". Ini juga wajar2 saja.
- Jadi menurut dia Rhoma Irama tidak SARA. Memandang himbauan agama selalu dalam tendensi negatif, tidaklah tepat.
- Saya kecil dan besar di lingkungan yang plural, baik rumah maupun di keluarga besar. Info2 semacam ini mudah didapat.
- Kalau ada isu2 terkait agama, saya selalu konfrontir langsung ke pemuka agama-nya, bukan mengambil interpretasi sendiri.
- Sama seperti saat isu Rohingya, sebagian umat Islam langsung 'latah' "jangan bawa2 agama, ini masalah kemanusiaan", dll.
- Setelah saya ktemu langsung dengan biksu yang paham isu. Justru bliau bilang: "Budhis di Arakan mencoreng ajaran Budha".
- Seringkali sebagian kecil (sekali) dari umat ini mengidap 'inferiority complex'. Itu membuat ia menyalahkan 'dirinya'.
- "dialog antar umat beragama" itu dihindari oleh 2 tipe orang: pertama, merasa sudah benar. Kedua, merasa sudah salah.
- Negeri ini unik, karena punya mayoritas umat Islam yang segelintirnya sangat inferior. Selalu tergesa bilang: jangan kaitkan dengan agama.
- Karena sudah berasumsi agama (Islam) nya lah yang salah. Lalu enggan tanya langsung. Padahal dengan dialog lebih clear.
- Atau minimal kalau belum paham, tak tergesa 'kalap' : "jangan kaitkan isu agama". Sebab bisa jadi solusi-nya di situ :)
- Jadi dialog itu sifatnya progresif, membangun peradaban yang lebih baik. Bukan karena inferior merasa agama ini salah.
- Hal terpenting tidak menyalahkan 3 hal: agama orang lain (i), agama sendiri (ii), orang yang membahasnya dalam tema agama (iii)
- sering kita antipati pembahasan isu agama dalam masalah sosial. Padahal bisa jadi jika dibahas secara 'dingin' masalah terurai.
- Tuit saya bukan buat nyindir siapa2, tapi membangun kemantapan 'sikap tengah' :)
- "Kedewasaan multikultural" sering diangkat tapi hanya 'jargon' sikap toleran terhadap diversitas-nya, tapi sungkan dialog tema sensitivitas.
- Sehingga kita hanya dihantui rasa bersalah tidak toleran terhadap diversitas, tapi tanpa sadar abai pada sensitivitas.
- Sebagian kecil (sekali) umat muslim kerap dihantui 'tidak toleran'. Sementara di sisi lain umat kristiani lebih dewasa secara multi-kultural.
- Dewasa-nya umat kristiani secara multi-kultural, contohny ttap hargai umat lain beda, tapi himbau jemaat-nya tuk pilih calon tertentu.
- Artinya pemuka agama kristiani menghargai sensitivitas preferensi agama mereka sendiri dalam dinamika sosial-politik.
- Sayang di momen2 politik trtentu, sgelintir umat muslim kurang menghargai sensitivitas agamanya sendiri. Lagi2 inferior.
- Fakta primordial juga bukan SARA. Kalau kompas sebut 97,8% etnik Tionghoa solid di Pilkada. Kan bukan berarti Kompas itu menyinggung SARA.
- Justru itu kedewasaan multi-kultural etnik Tionghoa, toleran orang yang beda pilihan, tapi solid dukung calon tertentu.
- Atau memang teori-nya sudah terbalik di kota ini? mayoritas jadi inferior, Sementara minoritas lebih dewasa & superior?
- Tuit ini bukan untuk mengatakan bahwa umat Islam harus pilih pemimpin muslim, lalu jangan pilih pemimpin non-muslim.
- Tuit ini lebih mengajak penghormatan umat beragama pada pandangan2 pemuka agama itu penting, meskipun ia beda 'paham'.
- Ketidaknyamanan sosial justru terjadi saat 'beda paham' disikapi dengan cara2 lisan-perilaku yang keluar dari akhlaq.
- Tuips, mohon do'anya insyaAllah besok saya ke Turki untuk register Ph.D di Fatih Univ. Moga berkenan mendo'akan... ;)
___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar