Senin, 17 September 2012

Anomali Toleransi di Dunia Barat




Rihan Handaulah
@rihandaulah
(Alumni Rohis sedang kuliah di Belanda)


Hari ini di kelas saya belajar mata kuliah Cross Cultural Management dengan Textbook-nya yaitu: Culture and Organization tulisan Geert Hofsetde, salah satu pakar manajemen terbaik di Eropa dari Univ Maastricht. Yang menarik adalah bagian yang membahas Cultural Dimension. Disebutkan bahwa budaya erat kaitannya dengan sejarah, dan dalam satu bagian tentang kecenderungan penerimaan akan perbedaan beliau mengatakan:

“..Islam dalam sejarahnya lebih toleran kepada agama lainnya daripada Katolik Roma. Perang Salib adalah produk intoleransi Kristiani bukan Muslim. Di kesultanan Usmani, ahli kitab bisa hidup bebas mengamalkan ajaran mereka, dengan suatu kewajiban membayar pajak. Di sisi lain, bahkan Protestan yang dianggap lebih “broad-minded” memakan korban dari intoleransi beragama seperi Michael Servetus yang dibakar hidup-hidup oleh pengikut John Calvin di Genewa tahun 1553. Mereka juga membakar orang-orang yang disangka sebagai tukang sihir. Bahkan di di awal abad 21, fundamentalis Kristen menyatakan Harry Potter karya J.K.Rowling adalah karya setan.“ (hal. 228)

Menarik untuk kita simak bahwa peradaban pernah mengalami satu benturan yang dahsyat. Dengan membaca sejarah kita bisa bersikap bijak. Refleksi atas sejarah mestinya membawa kita kepada kesadaran kolektif yang membentuk budaya saat ini yang lebih baik. Seperti umat Islam yang menorehkan sejarah emas dalam hal toleransi bahkan ilmuwan barat yang objektif pun mengakuinya, mestinya menjadikan sejarah sebagai inspirasi untuk tetap menjadi umat yang adil dan toleran.

Begitu pula dengan eropa (barat) saat ini yang mainstream-nya sangat toleran kepada agama lain juga patut dicermati sebagai sebuah masyarakat yang belajar. Tapi tentu saja dengan nilai dan sejarah yang berbeda, maka konsepsi toleransinya pun jadi berbeda. Jika umat Islam menjadikan toleransi sebagai bagian yang inheren dari agamanya, maka sebaliknya toleransi barat didasarkan atas liberalisme dan sekulerisme, di mana agama menjadi hal yang tak relevan/ tabu dibicarakan di publik. Tidak peduli atas keyakinan masing-masing karena itu adalah urusan individu. Ini adalah hasil belajarnya barat selama berabad-abad termasuk traumatik atas peran gereja di abad pertengahan. Demikian konsep yang berbeda antara toleransinya umat Islam dan barat.

Setahu saya belum ada kasusnya umat Islam menghina sesembahan atau nabinya agama lain, karena itu adalah konsep yang inheren dalam Quran. Umat Islam tidak berbasa-basi dengan mengatakan semua agama benar dan Quran pun secara eksplisit mengecam konsep keyakinan dengan banyak sesembahan. Tetapi inheren juga dalam ajaran Quran bahwa kita pun harus menghormati dan tidak boleh merusak atau sekedar menghina sesembahan mereka mereka atau pun rumah ibadah mereka. Dan ketaatan pada nilai inilah yang menjaga umat Islam dari sikap intoleran.

Adapun jika ada perilaku umat Islam yang intoleran, maka itu pun adalah produk dari keadaan. Intoleransi umat Islam disebabkan oleh sikap inferioritas akibat penjajahan selama berabad-abad hingga abad ke-20. Bahkan berlanjut setelah itu di mana konflik Islam dan barat tetap berlanjut, darah tertumpah dan umat Islam selalu yang menjadi korbannya. Dari mulai Palestina, Bosnia, Cechniya, Kosovo, Moro, Patani, Rohingya, Poso, hingga Ambon. Dengan posisi yang terus menjadi korban maka perlahan timbul rasa dendam, kecurigaan, serta selalu dalam posisi aba-aba untuk diserang. Ini menjai bibit radikalisasi yang akhirnya dimainkan oleh pemain yang itu-itu juga menjadi “terorisme”

Berbeda dengan barat yang toleransinya adalah produk evolusi budaya, ideologi, dan nilai-nilai. Maka kemungkinan anomali-anomalinya lebih banyak muncul. Sekalipun pada umumnya toleransi beragama sudah maju di barat tapi kita sendiri tahu bahwa nyaris tak pernah kosong media kita dari berita tentang penghinaan agama. Dan yang membuat saya terkejut ternyata bukan hanya Islam (Quran atau Nabi Muhammad saw) yang menjadi sasaran, Kristen sendiri pun (Yesus) tak kalah banyaknya dijadikan bahan cacian. Sesuatu yang amat menyedihkan. Dan kini saya lebih mendapat gambaran bahwa penyebabnya adalah faktor sejarah serta evolusi nilai dan budaya yang belum tuntas.

Shalawat dan salam atas Nabi Muhammad saw yang tak kurang manusia menghinanya sejak zaman beliau hidup hingga kini, dan tak pernah serta tak akan berkurang sedikit pun cahaya kemuliaan dan keagungannya. Maka jika kita marah atas penghinaan yang beliau dapatkan maka itu bukan karena kita takut beliau menjadi terhina, tapi kita takut jika tidak ada cinta yang tulus di hati kita kepadanya. Cinta butuh pembuktian. Marah adalah salah satu buahnya. Tapi dengan marah yang mulia, sebagaimana Rasul saw jika sedang marah.

Hasil merenung di kelas tadi siang,


Delft, 17 September 2012


*follow @rihandaulah on twitter




___________ posted by: Blog PKS PIYUNGAN - Bekerja Untuk Kejayaan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar